GBI PRJ (CK7)

“tetapi Yesus pergi ke bukit Zaitun. Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka. Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: "Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?" Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah. Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Iapun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah. Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?" Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang." (Yoh 8:1-11).

Ayat di atas bercerita bahwa saat Tuhan Yesus sedang mengajar di pagi hari, kemudian dibawa seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Mereka menanyakan apa pendapat Yesus tentang perempuan itu?Hal ini sering juga kita diminta pendapat mengenai keadaan dunia. “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata2, dan juga lambat untuk marah” (Yak 1:19). Banyak dari kita justru sering lambat mendengar tetapi cepat untuk berbicara/berpendapat. Seperti Tuhan tidak langsung menjawab ketika ditanyakan pendapat-Nya tentang perempuan yang berzinah tersebut. Kita harus belajar walaupun dalam keadaan terdesak kita jangan asal berbicara tetapi harus dipikirkan dahulu dan minta hikmah kepada Tuhan, jangan langsung berbicara, karena apa yang keluar dari perkataan kita tidak dapat ditarik kembali, kadang kata-kata yang kita keluarkan dapat menyakiti orang lain, digambarkan seperti orang yang melemparkan batu. Janganlah kita buru-buru bicara dan menjawab, bisa menjadi jebakan musuh, jika kita memberikan jawaban asal bicara bisa menghakimi orang lain, hal itu merupakan dosa dihadapan Tuhan. Dalam ayat diatas menjelaskan bahwa ahli Taurat sebenarnya melemparkan batu sebagai pertanyaan kepada Tuhan Yesus tentang perempuan yang berzinah, hal tersebut sebagai jebakan untuk menyalahkan Yesus.

Beberapa hal yang dimaksudkan dengan “lempar batu” dari ayat-ayat di atas, yaitu :

1. Melempar batu dengan kasih, artinya tidak menghakimi tetapi mengasihi

Jangan merasa diri benar, sehingga mempunyai hak untuk melempar batu atau menyalahkan orang lain yang berbuat salah atau dosa.Kita harus memiliki kasih kepada orang lain sehingga jika dia berbuat salah kita merasa prihatin dan menasehatinya. Jika orang melakukan fitnah dan menjatuhkan kita, sebagai pengikut Tuhan jangan melemparkan batu atau menghakimi orang tersebut, melainkan miliki hati yang mengampuni. Jangan berpikir negatif kepada orang-orang yang kita anggap sering berbuat salah, atau melemparkan batu kepada mereka, justru kita harus mengerti kondisi mereka terlebih dahulu. Kita harus membalas kejahatan dengan kebaikan.

2. Melempar batu harus memberi kelegaan bukan penghakiman

“mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.” (Luk. 6:28). Waktu kita mengalami sesuatu yang tidak mengenakan oleh orang lain jangan membalas. Setidaknya kita tidak melempar batu tetapi memberikan kelegaan. Yesus memberikan kelegaan kepada perempuan yang berzinah. Bagaimana dengan kehidupan kita?Apakah hidup kita bisa menjadi jawaban di lingkungan kerja, komunitas, sehingga apa yang kita lakukan membawa kehidupan atau kematian bagi orang lain.

3. Melemar batu artinya kita harus berdoa dan mengampuni

Waktu Yesus membungkuk menulis, Ia tidak peduli dengan ahli taurat yang memaksa dan menyerang Yesus, hal ini menggambarkan saat kita mengalami tekanan dan serangan yang kita lakukan berdoa untuk orang tersebut. Saat kita membicarakan hal itu , maka posisi kita harus mendoakan. Jika ada kesalahan pada orang lain lakukanlah dengan berdoa untuk orang itu jangan hanya memberikan opini. Rendahkan diri dengan berdoa sehingga terjadi pemulihan, ambil posisi yang terbaik yaitu berdoa. Seperti saat Yesus akan disalib yaitu mencuci kaki murid-murid-Nya dengan membungkuk. Keteladanan ini harus diterapkan dalam pelayanan kita. Jangan fokus melempar batu dengan menganggap kita benar bukan seperti itu yang Yesus inginkan tetapi keteladananlah yang dibutuhkan. Tuhan Yesus adalah batu penjuru, karena itu lepasakan segala batu yang mengikat hidup kita, sehingga kita bukan orang yang cepat menghakimi orang lain. Yesus sudah mati dan menyelematkan kita dari dosa. Jangan melempar batu kematian tetapi lemparkan batu kelegaan agar mereka melihat Yesus adalah batu penjuru, sehingga hidup mereka bisa dimenangkan dengan kasih Tuhan.

Jangan merasa benar sehingga berhak melempar batu kepada mereka yang melakukan kesalahan, tetapi penghakiman adalah hak Tuhan. Sesungguhnya batu yang kita lemparkan seharusnya batu kasih, batu yang membawa kelegaan dan pengampunan bagi orang lain. Bagian kita adalah berdoa dan mengampuni jika ada orang yang melakukan kesalahan dan dosa, selama masih ada dalam dunia, kita masih memiliki kesalahan dan pelanggaran, karena itu miliki hati yang mengampuni “ lepaskan batu pengampunan.” Kita rendahkan diri dan berdoa untuk orang lain karena saatnya nanti Tuhan akan mengatakan “well done” saat ditekan atau direndahkan orang lain. Saling mengampuni dan saling mengasihi itu yang Tuhan inginkan, lakukanlah dengan melepaskan batu-batu penghakiman. Amin.