Kita sering kali diingatkan oleh gembala sidang kita, Pdt. Niko Njotorahardjo, untuk menanti-nantikan Tuhan dalam menghadapi situasi apa pun. Pertolongan-Nya. Mengapa?
Sebab, mungkin kerap kali kita tidak sabaran, ingin mengambil langkah ataupun jalan keluar sendiri, memakai kekuatan, pengalaman, kemampuan diri. Tanpa pernah mencoba untuk pertama-tama bersikap tenang, menenangkan hati terlebih dulu, bertanya-tanya kepada Tuhan, menantikan Dia. Pertolongan-Nya.
Mazmur 62:2 (BIS), "Dengan tenang jiwaku menantikan Allah, dari Dia saja keselamatanku."
Aku harus tenang dan berbalik kepada Allah. Hanya Dia yang dapat menyelamatkan aku. (VMD)
God, the one and only--I'll wait as long as he says. Everything I need comes from him, so why not? (MSG)
Kata tenang atau 'duwmiyah' dalam bahasa Ibrani pada ayat di atas, mengandung arti menggambarkan ketenangan, keheningan bagai air di telaga yang tidak berombak, bagaikan menantikan sesuatu. Keadaan tersebut dipakai sebagai penggambaran hati yang tenang oleh karena kekuatan yang diperoleh dari Allah saja.
Sebab, sekali lagi, dalam keadaan-keadaan ataupun situasi tertentu, terutama mungkin apabila kita merasa tidak berbuat apa-apa yang salah namun terkena suatu masalah, kita bisa saja marah, dan itu memang sifat manusiawi. Tetapi, maukah kita untuk belajar tenang terlebih dulu, mengandalkan Tuhan dalam segala sesuatu, benar-benar menantikan Dia, pertolongan-Nya?
Dengan tetap tenang, akan timbul harapan. Dalam tinggal tenang, ada kekuatan.
Yesaya 30:15b (MILT), "Dalam pertobatan dan ketenangan kamu akan diselamatkan, dalam keheningan dan memercayakan diri akan ada kekuatanmu."
Your salvation requires you to turn back to me and stop your silly efforts to save yourselves. Your strength will come from settling down in complete dependence on me. (MSG)
"Di tengah-tengah kesulitan, kesengsaraan atau pertentangan dari musuh, manusia harus berbalik kepada Allah sebagai perlindungan dan pelepas yang tertinggi." (Rita Wahyu)
~ FG