Saadi Shirazi, seorang penyair asal suku bangsa Persia yang ada pada masa Medieval atau abad pertengahan, pernah melukiskan pengalamannya. Mungkin kita pernah mendengar atau membaca cerita ini dari orang lain atau penulis lainnya.
I never lamented about the vicissitudes of time or complained of the turns of fortune except on the occasion when I was barefooted and unable to procure slippers. But when I entered the great mosque of Kufah with a sore heart and beheld a man without feet I offered thanks to the bounty of God, consoled myself for my want of shoes and recited.
Intinya, jarang ia meratapi atau mengeluh terhadap berbagai pergumulan hidup. Tetapi suatu hari, ketika hendak beribadah, ia agak kesal karena tidak punya alas kaki ataupun sandal dan sepatu sehingga harus bertelanjang kaki menyusuri jalan. Kemudian, di tengah perjalanan, ia melihat seseorang yang mengalami disabilitas, yakni tidak memiliki kedua kaki. Lantas betapa malulah Saadi yang ketus sekadar karena tak beralas kaki. Maka, ia mau mulai belajar bersyukur.
Jika kita pun mempelajari contoh kehidupan tokoh-tokoh beriman, yang meski memiliki kekurangan fisik seperti Helen Keller yang tunanetra, Nick Vujicic yang lahir tanpa tangan serta kaki (tetra amelia syndrome), ataupun Joni Eareckson Tada yang mengalami quadriplegia atau kelumpuhan akibat kecelakaan sehingga terjadi kerusakan saraf tulang belakang.
Walau awalnya sempat bergumul maupun ingin menyudahi kehidupan mereka saja, namun sambil tetap berharap ke Tuhan serta mengerjakan yang masih bisa mereka lakukan, maka mereka dapat menjadi saluran berkat serta menyemangati orang-orang lain yang mengalami hal serupa supaya tetap bersyukur, bertahan dan berjuang dalam hidup ini.
Pengkhotbah 7 : 12 (BIS), "Lebih baik pergi ke rumah duka daripada ke tempat pesta. Sebab kita harus selalu mengenang bahwa maut menunggu setiap orang."
Lebih baik menghadiri upacara pemakaman daripada menghadiri pesta, karena setiap orang pasti akan mati dan ada baiknya jika orang memikirkan hal itu sementara ia hidup. (FAYH)
When the suffering soul reaches a calm, sweet carelessness, when it can inwardly smile at its own suffering, and does not even ask God to deliver it from the suffering, then it has wrought its blessed ministry; then patience has its perfect work; then the crucifixion begins to weave itself into a crown. ~ G.D. Watson
~ FG