Adakah seharusnya kita dapati kesombongan pada jejak-jejak langkah kaki domba? Ataukah sebuah keangkuhan?
Bisakah jejak-jejak domba jadi jejak-jejak singa kalau bukan Tuhan yang memperbuatnya?
Sebab, bukannya domba-domba lemah, hanya bisa berserah, bergantung, serta berharap pada gembalanya?
"Seliar-liarnya" seekor domba pun, tidak sadarkah ia hanyalah seekor domba sesungguhnya?
Bisakah domba memamerkan diri, menonjolkan dirinya, bahwa inilah bulu-bulunya yang indah, yang dapat saja suatu hari ada seseorang yang memotong dan memangkasnya?
Layakkah ia merasa lebih unggul daripada yang lainnya?
Ia mungkin bisa merasa khawatir, tetapi tidak gembalanya.
Ia mungkin pernah serta sempat tersesat serta menyesatkan diri, namun gembalanya setia dan bersuka mendapatkannya kembali. Memanggulnya di atas kedua bahunya. Inilah hidup.
Dapatkah ia rasakan takut? Dapat. Namun, kembali berserah, domba memandang pada gembalanya, mendengarkan hanya pada suaranya yang sangat-sangat-sangat dikenalinya.
Inilah hidup, inilah sukacita.
Kitalah domba, Dialah gembala.
"KARENA TUHAN adalah Gembalaku maka segala keperluanku terpenuhi. Ia membaringkan aku di atas rumput hijau dan menuntun aku sepanjang anak sungai yang tenang airnya. Ia memulihkan keadaan diriku. Ia menolong aku untuk melakukan apa yang benar dan yang memuliakan Dia. Walaupun aku berjalan melalui lembah maut yang gelap, aku tidak akan takut karena Engkau menyertai aku untuk menjaga dan membimbing aku sepanjang jalan. Engkau menyediakan meja perjamuan bagiku di hadapan musuh-musuhku. Engkau telah menyambut aku sebagai tamu kehormatan dengan berkat-berkat yang berkelimpahan. Kebajikan dan kebaikan hati-Mu akan menyertai aku sepanjang umurku, dan aku akan diam bersama Engkau dalam rumah-Mu untuk selama-lamanya." ~ Mazmur 23:1-6 (FAYH)
~FG