Dari manakah kita belajar menghakimi orang lain? Merasa lebih baik daripada orang lain? Sulit untuk menghargai orang-orang yang kita rasa lebih rendah, namun mudah jika terhadap mereka yang kita anggap lebih berhasil daripada kita?
Dan apabila orang yang berbuat salah kemudian bertobat, mengapakah kita masih mempunyai kecenderungan untuk menghakimi serta selalu menilai mereka tetap bersalah, padahal Tuhan sendiri telah mengampuni serta memberi kesempatan, dan mereka pun menunjukkan perbuatan baik?
Kita takkan pernah menjadi hakim yang baik, sebab kita sendiri semua sering berbuat salah.
"SAUDARA sekalian yang saya kasihi, jangan suka mempersalahkan orang, karena kita semua melakukan kesalahan. Jika sebagai guru agama, yang seharusnya lebih mengetahui, kita melakukan kesalahan, maka hukuman bagi kita akan lebih besar daripada hukuman bagi orang lain. Kalau seseorang dapat mengendalikan lidahnya, ini membuktikan bahwa ia dapat mengendalikan diri dalam segala-galanya." (Yak. 3:1, FAYH)
Bahkan kita punya banyak kelemahan, kekurangan ataupun sikap buruk yang mungkin belum banyak orang mengetahuinya.
Jadi, saat lain waktu hendak menilai ataupun menghakimi orang lain—istri, suami, anak, mertua, sahabat, ataupun orang lainnya—mari tenangkan serta ingatkanlah diri kita terlebih dulu supaya mengintrospeksi sudahkah kita terbebas dari kesalahan & menjadi orang yang benar-benar tidak pernah jatuh dalam dosa?
Rick Warren pernah bertanya, "Have you noticed that you tend to judge in others what you dislike in yourself" (Sudahkah Anda sadar bahwa kerap kali apa pun yang kita hakimi pada orang lain itu pun biasanya merupakan hal-hal yang tidak kita sukai pada diri kita sendiri?)
Lagipula, jika Tuhan menghakimi kesalahan-kesalahan kita, bagaimanakah kita dapat bertahan hidup?
"Tetapi kalau kita memeriksa diri kita terlebih dahulu, kita tidak akan dihukum Allah." (1 Korintus 11:31, BIS)
"Bagaimanakah kalian ingin orang lain memperlakukan kalian? Nah, perlakukanlah mereka juga seperti itu!" (Lukas 6:31, BSD)
(FG)