Alkisah, seorang raja memiliki empat orang istri.
Ketika mendekati ajal, raja itu menanyai istri keempat, "Maukah kau menyertai aku?" Istri itu berkata bahwa maaf tidak bisa, dan berencana akan menikahi orang lain lagi saja.
Raja bertanya ke istri ketiga, "Maukah engkau menemani aku?" Dia menjawab, maaf aku tidak bisa ikut denganmu.
Beliau bertanya juga hal yang sama pada istri kedua. Merasa sedih, namun istrinya itu mengatakan bahwa dia hanya mampu dan bersedia mengantarkannya sampai ke pemakaman terakhir, sesudah itu melanjutkan kehidupan.
Akhirnya, raja pun menanyakan hal yang sama ke istri pertamanya. Istrinya yang setia sejak awal itu menjawab, "Ya, aku bersedia mengikutimu ke manapun."
Kita dapat memetik pelajaran dari alegori ini. Istri ke-4 adalah tubuh. Ya kita bisa merawat & menjaga kesehatan, tetapi pada akhirnya kita akan meninggalkan tubuh ini.
Ke-3 adalah sebagai ibarat benda-benda di hidup kita. Kita pun takkan dapat membawa serta itu semua ke kehidupan selanjutnya.
Yang ke-2 ialah orang-orang terdekat dan mungkin keluarga. Mereka mungkin hanya sanggup mengiring & mengantarkan sampai ke tempat peristirahatan terakhir di dunia ini saat hidup kita berakhir.
Istri pertama itu ialah metafora atas jiwa. Yang sering kali ditelantarkan dan tidak mendapat perhatian. Padahal jiwalah yang tetap setia dari awal hingga akhir hidup kita.
Banyak orang bisa merawat badan, memiliki banyak materi maupun lainnya, serta menjalin hubungan baik dengan orang-orang lain. Namun, sedikit yang benar-benar menyadari, memperhatikan keadaan jiwa, terutama untuk hal-hal yang bersifat rohani.
"Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti" (Luk. 12:20).
"You see, the basic problem is not lack of time, it is lack of direction. We all have exactly the same amount of time, whether we are a millionaire or a pauper. All of us have 24 hours every single day." ~ Zig Ziglar
(FG)