Masihkah ada sukacita yang sungguh-sungguh dalam diri kita, meski apa pun terjadi?
Sukacita bukan hanya bicara gejolak perasaan yang bersorak-sorak, melainkan juga ketenangan batin yang mendalam sebab mengetahui & meyakini bahwa semuanya akan baik-baik saja pada akhirnya.
Dahulu, bila pihak Katolik Roma mencari pribadi-pribadi yang hendak dicatatkan sebagai santo (orang kudus) seperti halnya Mother Teresa, salah satu prasyarat adalah hilaritas, sebuah kata Latin yang berarti cheerfulness, good humor, joyousness, merriment, hilarity (keceriaan, canda tawa yang baik, kegembiraan, dan gambaran lain sukacita).
Intinya, pribadi tersebut mestilah mampu bersukacita, tertawa, memuji serta merayakan.
Tentu, bukan berarti kita tak dapat turut merasakan kesedihan, kesukaran, kesengsaraan ataupun kedukaan dan apa saja yang terjadi di sekitar. Namun, kualitas & karakteristik kita sebagai orang Kristen, yaitu sukacita, semestinya tidak akan pernah luntur. Apa jua yang terjadi.
Sukacita pun adalah gambaran surga.
"Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai. Marilah kita memuliakan Allah karena hari perkawinan Anak Domba telah tiba. Dan pengantin-Nya telah mempersiapkan dirinya" (Wahyu 19:7, VMD).
Jadi, masihkah ada bukti sukacita dalam hidup kita?
(FG)