Beberapa hari yang lalu, handphone saya sempat mengalami perbaikan di service center karena basah bagian dalamnya sebab kehujanan sebelumnya. Alhasil, sekitar dua harian lamanya saya tidak pegang telepon genggam.
Dan ketika departemen tempat saya bekerja melakukan meeting atau pertemuan di luar, tepatnya sebuah kafe, teman-teman lainnya asyik sibuk menyimak dan men-scroll HP masing-masing, sementara saya hanya bisa menikmati suasana maupun mengamati pemandangan sekitar.
Kemudian, saat pimpinan kami menanyakan tentang smartphone saya dan mengetahui sedang diperbaiki, lantas beliau mengomentari dengan istilah yang menarik. "Wah," ujar beliau, "berarti Bapak kembali menjadi manusia seutuhnya."
Mendengar hal itu, saya sempat tertawa, namun merenungkannya juga.
Ya, kalau kita renungkan, meskipun penting, namun sadarkah betapa kita sepertinya sudah begitu bergantung pada teknologi dan salah satunya telepon genggam tersebut. Entah di rumah, di mana setiap anggota keluarga memantengi layar HP berjam-jam sendiri-sendiri; di sekolah; tempat kerja, belum ditambah monoton menatap laptop ataupun komputer; di kendaraan bahkan, ataupun saat mengobrol dengan teman-teman.
Dapatkah kita mencoba untuk benar-benar jangan sampai bergantung pada alat-alat atau fasilitas tersebut dan menjadi dikuasai seolah tanpanya tidak dapat hidup, melainkan harusnya kitalah yang menguasai semua itu.
Pun jika kita saja begitu cepat tanggap terhadap notifikasi-notifikasi via HP, masakah kita mau begitu saja abai terhadap suara-Nya yang pasti ada dan dengan lembut berbisik di dalam hati kita?
Suatu hari, seorang remaja SMA meminta izin pada ayahnya supaya diperbolehkan berambut panjang dengan alasan Tuhan Yesus pun dahulu rambut-Nya panjang seperti yang dilihatnya di film-film maupun lukisan.
"Ya, boleh-boleh saja," ucap ayahnya, "tetapi Tuhan Yesus dulu juga naik keledai 'kan, dan ndak pegang HP. Jadi, besok kamu jangan naik motor lagi sama ndak usang bawa HP lagi ya." Mendengar tanggapan ayahnya, sang anak hanya tersenyum dan menghormati keputusan ayahnya tersebut untuk memiliki potongan rambut yang pendek serta rapi saja.
Pengkhotbah 1 : 9 (TSI), "Segala sesuatu yang pernah terjadi akan terjadi lagi, dan segala sesuatu yang pernah dilakukan akan dilakukan lagi. Tidak ada yang benar-benar baru di dunia ini."
History merely repeats itself. It has all been done before. Nothing under the sun is truly new. (NLT)
Segala sesuatu benar-benar melelahkan dan menjemukan. Betapapun banyaknya yang kita lihat dan dengar, kita tidak pernah merasa puas. Di dalam dunia ini tidak ada apa pun yang benar-benar baru; semua sudah pernah dilakukan atau dikatakan sebelumnya. Adakah sesuatu yang dapat kita katakan baru? Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa apa yang kita sebut baru itu tidak pernah ada dahulu kala? Kita tidak ingat apa yang telah terjadi pada waktu-waktu dahulu, dan dalam generasi-generasi yang akan datang tidak ada seorang pun yang akan ingat apa yang sekarang kita lakukan. (FAYH)
Catatan Full Life pun mengingatkan, dunia ini tampaknya terus berjalan sesuai pola tertentu tanpa ada yang berubah. Namun, manusia tidak bisa berharap bahwa alam akan memberi tahu makna untuk kehidupan ini dari dunia, juga terlebih lagi tidak akan dapat menemukan kepuasan sejati di dalamnya.
Lukas 19 : 36, "Dan sementara Yesus mengendarai keledai itu mereka menghamparkan pakaiannya di jalan."
Orang banyak yang melihat Dia menunggangi keledai itu menuju Yerusalem menghamparkan jubah-jubah mereka di sepanjang jalan yang dilewati Yesus, sebagai penghormatan terhadap-Nya. (TSI)
Kemudian orang banyak membentangkan jubah mereka di sepanjang jalan di hadapan Dia, dan ketika mereka itu sampai ke tempat di mana jalan dari Bukit Zaitun mulai menurun, seluruh arak-arakan itu mulai bersorak-sorak dan menyanyi. Mereka memuji Allah karena mujizat-mujizat yang telah dilakukan oleh Yesus. (FAYH)
~ FG