Kejadian 22 : 2 (BIS), "Kata Allah, 'Pergilah ke tanah Moria dengan Ishak, anakmu yang tunggal, yang sangat kaukasihi. Di situ, di sebuah gunung yang akan Kutunjukkan kepadamu, persembahkanlah anakmu sebagai kurban bakaran kepada-Ku.'"
"Bawalah anakmu yang tunggal itu, Ishak yang sangat kaukasihi, dan pergilah ke Tanah Moria. Lalu persembahkan dia di situ sebagai kurban bakaran di atas salah sebuah gunung yang akan Kutunjukkan kepadamu," firman-Nya. (FAYH)
Ps. Niko Njotorahardjo pernah mengingatkan dengan bertanya, seandainya dibandingkan dengan Abraham yang diminta oleh Tuhan untuk menyerahkan dan mempersembahkan Ishak kepada-Nya, sebagai korban bakaran, bagaimana dengan kita—maukah kita merelakan serta menyerahkan apa yang paling baik dalam hidup kita kepada Tuhan?
Apa yang paling terasa "mahal" bagi kita dan begitu berat kita serahkan ataupun lepaskan kepada-Nya? Apakah ego atau rasa gengsi, pekerjaan, kepercayaan kita terhadap banyak hal, masa depan, memberi pengampunan, pelayanan? Bagaimana bila saat ini Tuhan yang memintanya pada kita?
Catatan dari Full Life menjelaskan, inti persoalan kerap terletak pada dua area yang menggambarkan ukuran yang dipakai Allah dalam berurusan dengan orang percaya, yakni adakah kasih Abraham terhadap Allah jauh lebih besar ketimbang kasihnya kepada sesama, bahkan putra yang sangat dicintainya Ishak? Dan, apakah harapan Abraham untuk penggenapan janji yang belum terlihat itu masih bersama Allah ataukah beralih ke Ishak yang dapat dilihatnya secara kasat mata?
Allah bukan menghendaki kematian jasmani Ishak—sebab mempersembahkan manusia pun pada akhirnya dikutuk-Nya (lihat Imamat 20 : 1 – 5)—namun Ia ingin menguji komitmen Abraham, maupun benar-benarkah ia takut akan Allah dengan segenap hatinya.
Bagaimana dengan kita? Maukah kita berserah total kepada Tuhan, meski masih penuh ketidakpastian, pergolakan serta berbagai tantangan dalam hidup kita? Maukah kita untuk tetap percaya pada-Nya dan memegang teguh janji firman-Nya, walau tak sepenuhnya kita memahami ataupun mengerti?
Roma 8 : 32 (TSI), "Buktinya, Allah tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi menyerahkan Dia untuk menderita dan dikurbankan demi menyelamatkan kita. Kalau Allah rela memberikan Anak-Nya yang terkasih, tentulah Dia akan tetap berbaik hati kepada kita dan memberikan semua hal lain yang sudah dijanjikan-Nya kepada kita."
He did not spare his own Son, but gave him up for us all; how can he fail to lavish every other gift upon us? (REB)
If God didn't hesitate to put everything on the line for us, embracing our condition and exposing himself to the worst by sending his own Son, is there anything else he wouldn't gladly and freely do for us? (MSG)
~ FG