Seseorang yang telah berhasil menjadi pimpinan perusahaan, menulis sepucuk surat ke sebuah kantor penerbitan. Suratnya berisi bahwa ia meminta maaf karena dulu pernah mengambil beberapa buku di toko penerbitan tersebut ketika masih kuliah sebab tidak punya uang untuk beli buku dan harus membayar sendiri biaya kuliahnya.
Namun, tak hanya memohon maaf, ia juga menyertakan sejumlah kardus berisikan buku-buku baru untuk disumbangkan ke perusahaan itu. Mengapa? Karena ia merasa menyesal sempat berbuat kesalahan terhadap penerbit buku tersebut. Sekalipun tidak ada yang mengetahui, namun beban rasa bersalah begitu menghantui sehingga membuatnya ingin mengakui serta membalas budi.
Pernahkah kita demikian? Merasa bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan kita dan ingin melakukan yang benar, seperti halnya yang pernah dilakukan Zakheus? Ataukah justru kita kembali berbuat kesalahan yang sama dan tidak mau bertobat-bertobat.
Kembalilah kepada jalan pikiranmu yang benar dan berhentilah berbuat dosa. (1 Korintus 15:34a, WBTC Draft)
Terkadang, lebih baik mengejar kebenaran walau belum mendapatkan ataupun mengerti artinya, daripada terus-menerus dikejar oleh rasa bersalah dan tidak mau berhenti berbuat dosa. Puji Tuhan apabila kita mau kembali pada jalan yang benar oleh karena anugerah-Nya, serta kita mulai melakukan yang benar.
Efesus 4 : 28 (TSI), "Kalau dulu kamu pencuri, berarti kamu tidak boleh lagi mencuri. Kamu sendiri harus berusaha dan bekerja dengan baik, supaya kamu mempunyai penghasilan sendiri dan sebagian dari penghasilanmu itu bisa kamu bagikan kepada orang-orang yang berkekurangan."
Lalu Yesus mengangkat kepala-Nya dan bertanya kepada dia, "Di manakah orang-orang yang mendakwamu itu? Apakah tidak ada orang yang mau menghukum kamu?" Lalu perempuan itu menjawab, "Tidak ada, Bapa." Dan Yesus berkata kepadanya, "Aku juga tidak menghukummu. Pergilah, dan mulai sekarang jangan berbuat dosa lagi." (Yohanes 8:10-11, TSI)
~ FG