"Aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihani-Nya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan yaitu di luar iman." (1 Timotius 1:13)
"Walaupun dahulu saya memfitnah dan menganiaya serta menghina Dia. Tetapi Allah mengasihani saya, karena pada waktu itu saya belum percaya, jadi saya tidak tahu apa yang saya lakukan." (BIS)
"Padahal dulu saya menjelek-jelekkan nama-Nya. Saya menghina Dia dan membuat pengikut-pengikut-Nya menderita. Pada waktu itu, saya tidak tahu bahwa apa yang saya lakukan itu tidak baik. Sebab, saya belum percaya kepada Yesus." (BSD)
Demi sebuah ambisi, tiba-tiba seseorang bisa berubah menjadi pribadi yang begitu peduli dan dermawan kepada orang lain. Dulunya pelit, mendadak rela turun ke kampung-kampung kumuh, membagi ini-itu, dan mencoba bersahabat dengan masyarakat.
Namun, tidak lain tidak bukan, tujuannya hanyalah agar dirinya dinilai baik oleh orang-orang, meski semuanya itu dilakukan dalam kepalsuan atau ketidaktulusan.
Bagaimana dengan kita? Mungkin kita sering mendapati seseorang yang dengan bangga menceritakan betapa tingginya tingkat pendidikannya atau begitu banyaknya pelayanan yang telah dilakukannya. Tetapi apa tujuan semua itu? Apakah untuk sekadar membangun citra diri yang baik di mata orang lain?
Sangat jarang kita mendengar atau melihat orang yang tulus mengakui masa lalunya yang begitu buruk, seperti Paulus. Rasanya, tidak banyak orang yang mau melakukannya, karena risiko penolakan dari orang-orang lain sangat mungkin terjadi.
Belajar dari rasul Paulus yuk. Sekalipun seharusnya ada saja alasan baginya untuk berbangga diri, tetapi ia tidak melakukannya. Ia sadar siapa dirinya di hadapan Tuhan. Ia tidak membangun citra semata-mata demi menunjukkan kehebatan dirinya. Sebaliknya, di hadapan banyak orang, justru ia jujur mengakui begitu banyak kejahatan yang pernah dilakukannya, bahkan merasa dirinyalah yang paling berdosa dibanding semua orang.
Akhirnya, ia mengakui secara tulus bahwa hanya karena kasih karunia Tuhan sajalah sehingga ia dipercaya menjadi pelayan-Nya. Sebuah prinsip yang patut kita tiru. Menyadari sepenuhnya siapa diri kita di hadapan Tuhan, dan apa saja kesalahan yang telah kita lakukan sehingga menerima belas kasihan-Nya, akan menolong kita untuk ingat agar menjadi rendah hati serta tidak melulu mencari pujian dari manusia.
Berbagai kebaikan yang dilakukan tanpa kejujuran atau ketulusan, pada akhirnya sebenarnya akan terasa sia-sia.
(Jenni)